Pada semester
pertama tahun 2012 ini sudah ada upaya untuk meng-goal-kan RUU Kesetaraan dan
Keadilan Gender (RUU KKG) untuk menjadi undang-undang, yaitu produk hukum yang
mempunyai ketetapan tetap. Berbagai polemik telah terjadi antara yang pro-UU
KKG dan kontra-UU KKG. Saya pun ingin memberikan opini saya tentang
undang-undang ini.
Produk hukum
diterbitkan oleh pemerintah jika ada masalah besar. Jika tidak ada masalah,
tidak perlu dibuat produk hukum seperti undang-undang dan berbagai peraturan di
bawahnya. Pertanyaan yang timbul apakah ada masalah dengan kesetaraan dan
keadilan gender yang berskala besar yang harus dihadapi oleh pemerintah dan
bangsa Indonesia? Pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur dan obyektif.
Saya telah
melakukan penelitian ilmiah dan pengamatan yang terkait tentang gender dan
perempuan. Bicara gender berarti bicara tentang lelaki dan perempuan, kita
tidak boleh mengabaikan lelaki. Kalau kita hanya bicara tentang masalah masalah
perempuan semata, kita tidak boleh meng-klaim hal tersebut terkait masalah
gender. Disini kita harus netral, tidak mengikuti kemauan diri sendiri.
Kita perlu
melihat ke masa lalu, beberapa dekade yang lalu. Pada tahun 1950-an, ibu saya
drop-out kuliah dari UGM karena harus mengalah kepada adik lelakinya yang akan
melanjutkan kuliah di ITB, akibat ketidakadaan dana. Alasan kakek saya adalah
perempuan tidak wajib bekerja untuk mencari nafkah. Dengan perkembangan waktu
dan jaman, ada perubahan cara berfikir. Ayah saya mendukung saya, anak
perempuannya, untuk sekolah setinggi mungkin. Akhirnya saya lulus S2 dengan
biaya dari ayah saya. Selanjutnya saya mendapat beasiswa untuk kuliah S3, dan
alhamdulillah, saya pun lulus sebagai seorang doktor. Jika ada seseorang yang
bertanya kepada saya, apa ada masalah bagi perempuan saat ini untuk kuliah
hingga S3? Jawaban saya adalah tidak ada hambatan dalam sistem pendidikan di
Indonesia untuk perempuan kuliah setinggi mungkin. Soal kompetisi, adalah hal
yang umum, tidak kenal gender, yang ada adalah mampu atau tidak mampu untuk
kuliah, itu saja. Lelaki perempuan sama saja, ada yang pandai ada yang tidak
pandai di bidang akademis. Kepandaian atau intelektual tidak terkait dengan
gender, ras, agama, golongan; memang lebih banyak terkait dengan asupan gizi
makanan sejak kecil, keteguhan dan kerajinan dalam belajar.
Pada tahun
1970-1980-an, saya sering mendengar bahwa perempuan dihalangi untuk menjadi
seorang dokter spesialis kandungan, dengan alasan ketidakstabilan emosi dalam
menghadapi persalinan. Disamping itu, saya juga mendengar bahwa lelaki
dihalangi untuk menjadi seorang sekretaris, karena pekerjaan sekretaris adalah
pekerjaan perempuan. Dua contoh ini adalah contoh dari ketimpangan gender
akibat stereotipe yang dibangun dalam masyarakat. Pada saat ini, dokter
spesialis kandungan perempuan sudah banyak dijumpai dan banyak dicari, apalagi
oleh pasien muslimah. Dengan demikian, sudah tidak ada masalah dalam pendidikan
kedokteran spesialis kandungan serta peluang kerja.
Terkait dengan sekretaris lelaki, itu tergantung masyarakat Indonesia siap
menerima atau tidak, karena di mancanegara banyak dijumpai sekretaris lelaki. Dengan demikian, dari bidang pekerjaan
yang halal dan baik pun tidak ada masalah dilihat dari segi gender.
Pada saat ini,
perempuan yang menempati kedudukan tinggi pun sudah banyak, termasuk sudah
pernah ada presiden perempuan di Indonesia. Semua itu tergantung kemampuan individual
perempuan tersebut, kompeten (mampu) atau tidak, mau atau tidak untuk
berpartisipasi. Kebebasan untuk memilih adalah sesuatu yang berharga, yang
penting pilihan tersebut membawa kemaslahatan atau kebaikan bagi diri sendiri,
keluarga dan masyarakat.
Sejujurnya, yang
menghambat seseorang untuk maju adalah kemiskinan, bukan gender. Perempuan
miskin di perdesaan atau perkotaan harus melakukan pekerjaan beban ganda akibat
kemiskinannya. Bagi perempuan di keluarga menengah ke atas, mereka memiliki
kebebasan untuk memilih, sesuatu yang tidak dimiliki oleh perempuan miskin. Jadi
yang menjadi masalah adalah KEMISKINAN.
Dalam hukum
Islam, yang wajib mencari dan memberi nafakah keluarga adalah lelaki, suami dan
ayah, yang berstatus sebagai kepala keluarga. Kewajiban ini kelak akan
dimintakan pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Sedangkan kaum perempuannya
wajib taat kepada kepala keluarga yang taat kepada Allah SWT dan Rasulullah
saw, yaitu lelaki yang SHOLEH. Perempuan tidak WAJIB untuk mencari nafkah,
tetapi dia boleh, jika diijinkan suami/ayahnya, untuk bekerja mencari nafkah. Inilah
yang disebut PILIHAN, dan pilihan inilah yang tidak selalu dimiliki oleh semua
orang dan semua keluarga.
Kembali ke RUU
Kesetaraan dan Keadilan Gender di Indonesia. Apakah sudah mendesak untuk dibuat
dan diterbitkan sebagai produk hukum yang dapat memasukkan seseorang ke dalam
bui akibat tidak patuh hukum? Saya pikir masih banyak masalah-masalah besar di
Indonesia yang lebih urgent (darurat
mendesak) untuk ditangani, sedangkan masalah gender di Indonesia tidak terlalu
besar, yang terjadi adalah benturan-benturan dengan hukum agama khususnya Islam
sebagai agama mayoritas di Indonesia. Agama Islam telah memliki hukum syariah
yang mengatur perilaku umatnya khususnya dan manusia pada umumnya sesuai
pedoman Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Muslimin akan berusaha taat pada
hukum Allah demi kebaikan dunia dan akhirat. Hal inilah yang tidak dijamin oleh
undang-undang buatan manusia, JAMINAN AKHIRAT. Garansi produk saja dapat
kadaluarsa, penegakan hukum di dunia pun dapat pilih-pilih sasaran, keadilan???
Sebagai contoh,
kesamaan kewajiban dan hak bagi lelaki dan perempuan dalam segala hal. Dalam
hal ini perempuan pun wajib bekerja untuk mencari uang guna menafkahi keluarga.
Seorang suami dapat MENCERAIKAN istrinya, jika sang istri tidak mau bekerja dan
hanya memilih menjadi ibu rumahtangga mengurus keluarga, dan negara pun dapat
menghukum keluarga tersebut karena dianggap mengabaikan kewajibannya. Sebaliknya,
seorang istri dapat MENCERAIKAN suaminya karena sang suami tidak mau ikut
terlibat dalam mengurus rumahtangga (masak-cuci-bersih rumah-urus anak),
padahal sang istri juga sudah bekerja dan mengurus rumahtangga, sang suami juga
wajib mengurus rumahtangga. Jika demikian halnya, betapa runyamnya kehidupan
keluarga di Indonesia. Pengadilan (agama dan negeri) sibuk mengurus perceraian
akibat pengabaian kewajiban tersebut. Apa jadinya masa depan bangsa dan negara
Indonesia? Boro-boro ada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), kesatuan
keluarga saja tidak ada, yang ada adalah Broken-home
Country (Negara keluarga hancur Indonesia). Apakah itu yang dicita-citakan
oleh our founding father (pahlawan
bangsa Indonesia)?
Menurut saya, masalah gender dalam pembangunan
(akses-kontrol-partisipasi-manfaat) dapat diselesaikan tanpa harus melalui UU
KKG, jika itu yang dijadikan acuan untuk pembuatan UU. Komitmen dari pemerintah
cq. Kementerian dan pemda yang memberikan akses-kontrol-partisipasi-manfaat
kepada lelaki dan perempuan, sama pentingnya dengan keberpihakan kepada
masyarakat miskin, masyarakat di perbatasan negara yang termarginalkan.
MASYARAKAT YANG MARGINAL jangan diabaikan, lelaki perempuan miskin, lelaki
perempuan yang hidup di perbatasan, lelaki perempuan yang jauh dari akses
kekuasaan. Tidak ada masalah GENDER
dalam hal ini. Inilah yang menjadi kewajiban pemerintah dan masyarakat yang
memiliki akses yang membantu mereka.
Setiap individu
adalah unik, meskipun anak kembarpun mereka tetap memiliki perbedaan dalam
pengetahuan dan pengalaman yang mengakibatkan perbedaan dalam kebutuhan dan
keinginan. Jangan gara-gara UU KKG bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak
berdaulat, akibat terus berusaha mengikuti cara pikir negara dan bangsa lain
yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, yang memaksakan kehendaknya. JADILAH
DIRI SENDIRI, itu sering diucapkan untuk membentuk kepribadian seseorang yang
ternyata juga cocok untuk bangsa Indonesia yang sedang mencari jati dirinya
yang entah ditinggal atau hilang di mana…..
MERDEKA!!!