Rabu, 09 Mei 2012

UU Kesetaraan dan Keadilan Gender Urgent??


Pada semester pertama tahun 2012 ini sudah ada upaya untuk meng-goal-kan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) untuk menjadi undang-undang, yaitu produk hukum yang mempunyai ketetapan tetap. Berbagai polemik telah terjadi antara yang pro-UU KKG dan kontra-UU KKG. Saya pun ingin memberikan opini saya tentang undang-undang ini.

Produk hukum diterbitkan oleh pemerintah jika ada masalah besar. Jika tidak ada masalah, tidak perlu dibuat produk hukum seperti undang-undang dan berbagai peraturan di bawahnya. Pertanyaan yang timbul apakah ada masalah dengan kesetaraan dan keadilan gender yang berskala besar yang harus dihadapi oleh pemerintah dan bangsa Indonesia? Pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur dan obyektif.

Saya telah melakukan penelitian ilmiah dan pengamatan yang terkait tentang gender dan perempuan. Bicara gender berarti bicara tentang lelaki dan perempuan, kita tidak boleh mengabaikan lelaki. Kalau kita hanya bicara tentang masalah masalah perempuan semata, kita tidak boleh meng-klaim hal tersebut terkait masalah gender. Disini kita harus netral, tidak mengikuti kemauan diri sendiri.

Kita perlu melihat ke masa lalu, beberapa dekade yang lalu. Pada tahun 1950-an, ibu saya drop-out kuliah dari UGM karena harus mengalah kepada adik lelakinya yang akan melanjutkan kuliah di ITB, akibat ketidakadaan dana. Alasan kakek saya adalah perempuan tidak wajib bekerja untuk mencari nafkah. Dengan perkembangan waktu dan jaman, ada perubahan cara berfikir. Ayah saya mendukung saya, anak perempuannya, untuk sekolah setinggi mungkin. Akhirnya saya lulus S2 dengan biaya dari ayah saya. Selanjutnya saya mendapat beasiswa untuk kuliah S3, dan alhamdulillah, saya pun lulus sebagai seorang doktor. Jika ada seseorang yang bertanya kepada saya, apa ada masalah bagi perempuan saat ini untuk kuliah hingga S3? Jawaban saya adalah tidak ada hambatan dalam sistem pendidikan di Indonesia untuk perempuan kuliah setinggi mungkin. Soal kompetisi, adalah hal yang umum, tidak kenal gender, yang ada adalah mampu atau tidak mampu untuk kuliah, itu saja. Lelaki perempuan sama saja, ada yang pandai ada yang tidak pandai di bidang akademis. Kepandaian atau intelektual tidak terkait dengan gender, ras, agama, golongan; memang lebih banyak terkait dengan asupan gizi makanan sejak kecil, keteguhan dan kerajinan dalam belajar.   

Pada tahun 1970-1980-an, saya sering mendengar bahwa perempuan dihalangi untuk menjadi seorang dokter spesialis kandungan, dengan alasan ketidakstabilan emosi dalam menghadapi persalinan. Disamping itu, saya juga mendengar bahwa lelaki dihalangi untuk menjadi seorang sekretaris, karena pekerjaan sekretaris adalah pekerjaan perempuan. Dua contoh ini adalah contoh dari ketimpangan gender akibat stereotipe yang dibangun dalam masyarakat. Pada saat ini, dokter spesialis kandungan perempuan sudah banyak dijumpai dan banyak dicari, apalagi oleh pasien muslimah. Dengan demikian, sudah tidak ada masalah dalam pendidikan kedokteran spesialis kandungan serta peluang kerja. Terkait dengan sekretaris lelaki, itu tergantung masyarakat Indonesia siap menerima atau tidak, karena di mancanegara banyak dijumpai sekretaris lelaki. Dengan demikian, dari bidang pekerjaan yang halal dan baik pun tidak ada masalah dilihat dari segi gender.

Pada saat ini, perempuan yang menempati kedudukan tinggi pun sudah banyak, termasuk sudah pernah ada presiden perempuan di Indonesia. Semua itu tergantung kemampuan individual perempuan tersebut, kompeten (mampu) atau tidak, mau atau tidak untuk berpartisipasi. Kebebasan untuk memilih adalah sesuatu yang berharga, yang penting pilihan tersebut membawa kemaslahatan atau kebaikan bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat.

Sejujurnya, yang menghambat seseorang untuk maju adalah kemiskinan, bukan gender. Perempuan miskin di perdesaan atau perkotaan harus melakukan pekerjaan beban ganda akibat kemiskinannya. Bagi perempuan di keluarga menengah ke atas, mereka memiliki kebebasan untuk memilih, sesuatu yang tidak dimiliki oleh perempuan miskin. Jadi yang menjadi masalah adalah KEMISKINAN.

Dalam hukum Islam, yang wajib mencari dan memberi nafakah keluarga adalah lelaki, suami dan ayah, yang berstatus sebagai kepala keluarga. Kewajiban ini kelak akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Sedangkan kaum perempuannya wajib taat kepada kepala keluarga yang taat kepada Allah SWT dan Rasulullah saw, yaitu lelaki yang SHOLEH. Perempuan tidak WAJIB untuk mencari nafkah, tetapi dia boleh, jika diijinkan suami/ayahnya, untuk bekerja mencari nafkah. Inilah yang disebut PILIHAN, dan pilihan inilah yang tidak selalu dimiliki oleh semua orang dan semua keluarga.

Kembali ke RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender di Indonesia. Apakah sudah mendesak untuk dibuat dan diterbitkan sebagai produk hukum yang dapat memasukkan seseorang ke dalam bui akibat tidak patuh hukum? Saya pikir masih banyak masalah-masalah besar di Indonesia yang lebih urgent (darurat mendesak) untuk ditangani, sedangkan masalah gender di Indonesia tidak terlalu besar, yang terjadi adalah benturan-benturan dengan hukum agama khususnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Agama Islam telah memliki hukum syariah yang mengatur perilaku umatnya khususnya dan manusia pada umumnya sesuai pedoman Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Muslimin akan berusaha taat pada hukum Allah demi kebaikan dunia dan akhirat. Hal inilah yang tidak dijamin oleh undang-undang buatan manusia, JAMINAN AKHIRAT. Garansi produk saja dapat kadaluarsa, penegakan hukum di dunia pun dapat pilih-pilih sasaran, keadilan???

Sebagai contoh, kesamaan kewajiban dan hak bagi lelaki dan perempuan dalam segala hal. Dalam hal ini perempuan pun wajib bekerja untuk mencari uang guna menafkahi keluarga. Seorang suami dapat MENCERAIKAN istrinya, jika sang istri tidak mau bekerja dan hanya memilih menjadi ibu rumahtangga mengurus keluarga, dan negara pun dapat menghukum keluarga tersebut karena dianggap mengabaikan kewajibannya. Sebaliknya, seorang istri dapat MENCERAIKAN suaminya karena sang suami tidak mau ikut terlibat dalam mengurus rumahtangga (masak-cuci-bersih rumah-urus anak), padahal sang istri juga sudah bekerja dan mengurus rumahtangga, sang suami juga wajib mengurus rumahtangga. Jika demikian halnya, betapa runyamnya kehidupan keluarga di Indonesia. Pengadilan (agama dan negeri) sibuk mengurus perceraian akibat pengabaian kewajiban tersebut. Apa jadinya masa depan bangsa dan negara Indonesia? Boro-boro ada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), kesatuan keluarga saja tidak ada, yang ada adalah Broken-home Country (Negara keluarga hancur Indonesia). Apakah itu yang dicita-citakan oleh our founding father (pahlawan bangsa Indonesia)?   

Menurut saya, masalah gender dalam pembangunan (akses-kontrol-partisipasi-manfaat) dapat diselesaikan tanpa harus melalui UU KKG, jika itu yang dijadikan acuan untuk pembuatan UU. Komitmen dari pemerintah cq. Kementerian dan pemda yang memberikan akses-kontrol-partisipasi-manfaat kepada lelaki dan perempuan, sama pentingnya dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin, masyarakat di perbatasan negara yang termarginalkan. MASYARAKAT YANG MARGINAL jangan diabaikan, lelaki perempuan miskin, lelaki perempuan yang hidup di perbatasan, lelaki perempuan yang jauh dari akses kekuasaan. Tidak ada masalah GENDER dalam hal ini. Inilah yang menjadi kewajiban pemerintah dan masyarakat yang memiliki akses yang membantu mereka.

Setiap individu adalah unik, meskipun anak kembarpun mereka tetap memiliki perbedaan dalam pengetahuan dan pengalaman yang mengakibatkan perbedaan dalam kebutuhan dan keinginan. Jangan gara-gara UU KKG bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak berdaulat, akibat terus berusaha mengikuti cara pikir negara dan bangsa lain yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, yang memaksakan kehendaknya. JADILAH DIRI SENDIRI, itu sering diucapkan untuk membentuk kepribadian seseorang yang ternyata juga cocok untuk bangsa Indonesia yang sedang mencari jati dirinya yang entah ditinggal atau hilang di mana…..

MERDEKA!!!