Minggu, 09 September 2012

KETAHANAN PANGAN


Lingkungan hidup global saat ini sudah mencapai kondisi yang buruk. Hal ini tampak dari berbagai fenomena alam seperti kenaikan suhu permukaan bumi yang semakin panas di seluruh wilayah bumi, perbedaan pola (distribusi dan intensitas) curah hujan tahunan, iklim dan cuaca yang berubah ekstrim, bencana kekeringan, banjir dan badai yang semakin sering terjadi, gelombang hawa panas (heat waves) dan kebakaran hutan pun semakin sering terjadi dan meluas. Saat panas suhu muka bumi mencapai titik tertentu, bongkahan es di kutub, gletser dan salju di puncak gunung dapat mencair dan menimbulkan gejala peningkatan volume air laut, permukaan air laut naik dengan kemampuan menenggelamkan dataran rendah, pesisir pantai dan pulau-pulau kecil padat penduduk di negara-negara sedang berkembang. Kondisi buruk yang disebabkan oleh perubahan iklim dan pemanasan global ini mengakibatkan berbagai dampak negatif terhadap makhluk hidup termasuk manusia. Selain itu, terjadi perubahan ekosistem di bumi akibat adanya kepunahan biota tertentu yang rentan terhadap perubahan lingkungan (seperti peningkatan temperatur, kekeringan) berarti perubahan jejaring makanan.
Indonesia terletak di daerah katulistiwa yang memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan kemarau. Saat tulisan ini dibuat (September 2012), Indonesia sedang mengalami musim kemarau yang berkepanjangan. Sudah banyak penduduk Indonesia, baik yang di perkotaan dan di perdesaan yang tidak memiliki akses ke perusahaan air minum (PAM), bahkan yang memiliki akses pun, mengalami kesulitan mendapatkan air bersih akibat kekeringan dari musim kemarau yang berkepanjangan. Kurangnya curah hujan membuat  masyarakat juga makin terancam oleh gagalnya panen hasil pertanian, merosotnya produktivitas dan hasil usaha tani, kebun dan perikanan air tawar. Akibat lebih lanjut dari kurangnya pasokan air bersih dan bahan pangan adalah meningkatnya bencana kelaparan, gangguan kesehatan, kurang gizi, dan wabah penyakit. Untuk mencegah bencana kelaparan, kurang gizi dan bencana ikutan lainnya, diperlukan program ketahanan pangan yang bersifat darurat.
Saat ini Indonesia sebagai negara (tidak mau disebut) agraris, tetapi belum dapat disebut negara industrialis, sumber pangannya tergantung dari impor dari luar negeri. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang makanan utamanya adalah nasi (dari beras). Perkataan yang umum didengar adalah “Belum makan nasi, berarti belum makan”. Meskipun orang tersebut sudah makan mi instan dua bungkus pun, dia menganggap dirinya belum makan. Akibat kebiasaan ini maka Indonesia adalah pengimpor dan pemakan beras/nasi terbanyak di dunia. Pulau Jawa, yang asal namanya dari Jawadwipa yang berarti Pulau Beras, adalah pulau yang subur dan dulu menjadi lumbung padi bagi penduduknya, tetapi sekarang daerah persawahannya sudah menjadi permukiman dan kawasan industri, sehingga produksi beras yang dibutuhkannya menjadi merosot. Disamping itu bangsa Indonesia adalah pemakan tempe yang berasal dari kedelai, sehingga disebut ‘Bangsa Tempe”. Ironisnya, kedelai sebagai bahan baku utama untuk tempe, tahu dan kecap juga diimpor dari luar negeri. Ada lagi mi instan yang sudah menjadi makanan umum bagi segenap mayoritas penduduk Indonesia berasal dari tepung terigu, dari gandum, yang juga diimpor dari luar negeri. Jadi jenis pangan mana yang 100% produk Indonesia? Semua bahan pangan utamanya umumnya diimpor dari luar negeri. Devisa atau pendapatan negara dihabiskan untuk belanja impor bahan pangan, kesejahteraan pun sulit meningkat. Jika negara pengimpor bahan pangan adalah Singapura yang sempit luas negaranya, wajar, karena lahan untuk pertanian pun terbatas. Namun Indonesia yang memiliki wilayah laut dan darat yang luas serta jumlah penduduk yang berlimpah menjadi negara pengimpor bahan pangan yang tergolong utama (beras, kedelai dan terigu) adalah sesuatu yang ironis.   
Terkait ketahanan pangan, lelaki dan perempuan sama-sama menderitanya, karena semua manusia membutuhkan makan, tetapi kaum perempuan adalah warga yang paling menderita. Kaum perempuan adalah pengolah bahan baku menjadi masakan. Semakin langka bahan pangan berarti semakin mahal. Seluruh anggota keluarga pun menjerit kelaparan. Kaum perempuan yang harus memutar otaknya untuk tetap dapat menyediakan makanan untuk keluarganya, agar tidak mengalami kelaparan. Kesulitan apa yang dialami oleh kaum lelakinya? Kesulitan mereka terkait dengan mata pencaharian mereka dan juga karena penghasilan mereka menjadi berkurang nilainya akibat lonjakan harga pangan. Contohnya, petani padi terpaksa gigit jari akibat kekeringan, karena padinya puso akibat kurang air. Petani ikan (petambak) juga menderita, karena tambaknya mengering. Tidak ada panen berarti tidak ada penghasilan.
Mari kita kembali kepada Al Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam.
1.  QS. Al Furqan ayat 48-49:”Dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. Agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak.”
Kita sudah diberi contoh oleh Rasulullah Muhammad s.a.w untuk melakukan shalat Istisqa’, shalat memohon hujan jika mengalami kekeringan. Sambil berdoa memohon kepada Allah SWT disertai memohon ampunan-Nya, kita kemudian dapat berikhtiar dengan teknologi hujan buatan yang juga masih membutuhkan awan dan uap air yang telah ditetapkan oleh Allah SWT keberadaannya.
2.  QS. Al A’raf ayat 10:”Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.”
Kita pun harus bebas dari menuhankan beras (nasi). Pola pikir ‘Belum makan kalau belum makan nasi” harus dirubah. Manusia (juga makhluk hidup lainnya) harus makan untuk hidup, bukan ‘hidup untuk makan’. Kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia sesungguhnya  adalah pemakan berbagai jenis pangan, selain beras/nasi, seperti jagung, sagu, singkong, umbi-umbian lainnya (ganyong, gadung, ubi jalar, dll). Namun ada kesalahan program pemerintah (program jatah beras untuk pegawai negeri/aparat pemerintah) dan kesalahan didik yang telah dilakukan oleh segenap penduduknya sehingga mereka membatasi dirinya sendiri hanya makan nasi, seolah-olah makan bahan pangan lainnya (nasi jagung, sagu, tiwul, dll) kurang baik/bermutu atau tidak ber-gengsi. Sebagai umat Islam yang bertauhid, hal ini seharusnya dihindarkan, karena Allah SWT telah menyediakan di bumi ini berbagai sumber penghidupan, jangan membatasi diri sendiri yang berakibat menyulitkan diri sendiri, inilah yang dapat dikategorikan tidak bersyukur. Muslimin harus berpegangan pada pedoman makanan yang halal dan baik (halalan wa thayiban). Istilah halal sudah jelas, sedangkan yang dimaksud baik itu antara lain mengandung gizi yang dibutuhkan manusia. Bumi di mana Indonesia berada sesungguhnya mengandung keanekaragaman hayati yang luar biasa. Penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam semestinya mampu untuk merdeka dalam memilih makanannya, asal berprinsip halal dan baik, bukan gengsi. Merubah pola pikir dan kebiasaan makan nasi ini memang membutuhkan waktu, tidak semudah membalikkan tangan. Namun hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil. Disinilah peran pendidikan keluarga dalam menentukan menu makanan sehari-hari yang tidak harus dengan nasi. Mulai dengan mengurangi menu nasi secara bertahap, yang biasanya makan nasi tiga kali sehari tujuh hari seminggu berarti 21 kali makan nasi, dikurangi sedikit demi sedikit menjadi 20 kali, terus 19 kali, mungkin mencapai 15 kali seminggu makan nasi sudah cukup baik. Makanan pokok lainnya diperkenalkan secara perlahan. Insya Allah berhasil. Ibu berperan dalam menentukan komposisi menu dan mengolah bahan makanan, sedangkan bapak (sebagai imam) berperan dalam menentukan dan mendukung kebijakan tersebut. Kekompakan dalam keluarga akan menentukan keberhasilan dalam melaksanakan keputusan/kebijakan guna mencegah stres saat beras menjadi langka dan mahal. Sekali lagi, yang penting kita makan yang halal dan baik untuk mempertahankan hidup kita.   
Wal Allahu ‘alam.