Lingkungan hidup global saat
ini sudah mencapai kondisi yang buruk. Hal ini tampak dari berbagai fenomena
alam seperti kenaikan suhu permukaan bumi yang semakin panas di seluruh wilayah
bumi, perbedaan pola (distribusi dan intensitas) curah hujan tahunan, iklim dan
cuaca yang berubah ekstrim, bencana kekeringan, banjir dan badai yang semakin
sering terjadi, gelombang hawa panas (heat
waves) dan kebakaran hutan pun semakin sering terjadi dan meluas. Saat panas
suhu muka bumi mencapai titik tertentu, bongkahan es di kutub, gletser dan
salju di puncak gunung dapat mencair dan menimbulkan gejala peningkatan volume
air laut, permukaan air laut naik dengan kemampuan menenggelamkan dataran
rendah, pesisir pantai dan pulau-pulau kecil padat penduduk di negara-negara
sedang berkembang. Kondisi buruk yang disebabkan oleh perubahan iklim dan
pemanasan global ini mengakibatkan berbagai dampak negatif terhadap makhluk
hidup termasuk manusia. Selain itu, terjadi perubahan ekosistem di bumi akibat
adanya kepunahan biota tertentu yang rentan terhadap perubahan lingkungan
(seperti peningkatan temperatur, kekeringan) berarti perubahan jejaring
makanan.
Indonesia terletak di daerah katulistiwa
yang memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan kemarau. Saat tulisan ini
dibuat (September 2012), Indonesia sedang mengalami musim kemarau yang
berkepanjangan. Sudah banyak penduduk Indonesia, baik yang di perkotaan dan di
perdesaan yang tidak memiliki akses ke perusahaan air minum (PAM), bahkan yang
memiliki akses pun, mengalami kesulitan mendapatkan air bersih akibat
kekeringan dari musim kemarau yang berkepanjangan. Kurangnya curah hujan
membuat masyarakat juga makin terancam
oleh gagalnya panen hasil pertanian, merosotnya produktivitas dan hasil usaha
tani, kebun dan perikanan air tawar. Akibat lebih lanjut dari kurangnya pasokan
air bersih dan bahan pangan adalah meningkatnya bencana kelaparan, gangguan
kesehatan, kurang gizi, dan wabah penyakit. Untuk mencegah bencana kelaparan,
kurang gizi dan bencana ikutan lainnya, diperlukan program ketahanan pangan
yang bersifat darurat.
Saat ini Indonesia sebagai
negara (tidak mau disebut) agraris, tetapi belum dapat disebut negara
industrialis, sumber pangannya tergantung dari impor dari luar negeri. Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang makanan utamanya adalah nasi (dari beras).
Perkataan yang umum didengar adalah “Belum makan nasi, berarti belum makan”.
Meskipun orang tersebut sudah makan mi instan dua bungkus pun, dia menganggap
dirinya belum makan. Akibat kebiasaan ini maka Indonesia adalah pengimpor dan
pemakan beras/nasi terbanyak di dunia. Pulau Jawa, yang asal namanya dari
Jawadwipa yang berarti Pulau Beras, adalah pulau yang subur dan dulu menjadi
lumbung padi bagi penduduknya, tetapi sekarang daerah persawahannya sudah
menjadi permukiman dan kawasan industri, sehingga produksi beras yang
dibutuhkannya menjadi merosot. Disamping itu bangsa Indonesia adalah pemakan
tempe yang berasal dari kedelai, sehingga disebut ‘Bangsa Tempe”. Ironisnya,
kedelai sebagai bahan baku utama untuk tempe, tahu dan kecap juga diimpor dari
luar negeri. Ada lagi mi instan yang sudah menjadi makanan umum bagi segenap
mayoritas penduduk Indonesia berasal dari tepung terigu, dari gandum, yang juga
diimpor dari luar negeri. Jadi jenis pangan mana yang 100% produk Indonesia?
Semua bahan pangan utamanya umumnya diimpor dari luar negeri. Devisa atau
pendapatan negara dihabiskan untuk belanja impor bahan pangan, kesejahteraan
pun sulit meningkat. Jika negara pengimpor bahan pangan adalah Singapura yang
sempit luas negaranya, wajar, karena lahan untuk pertanian pun terbatas. Namun Indonesia
yang memiliki wilayah laut dan darat yang luas serta jumlah penduduk yang berlimpah
menjadi negara pengimpor bahan pangan yang tergolong utama (beras, kedelai dan
terigu) adalah sesuatu yang ironis.
Terkait ketahanan pangan,
lelaki dan perempuan sama-sama menderitanya, karena semua manusia membutuhkan
makan, tetapi kaum perempuan adalah warga yang paling menderita. Kaum perempuan
adalah pengolah bahan baku menjadi masakan. Semakin langka bahan pangan berarti
semakin mahal. Seluruh anggota keluarga pun menjerit kelaparan. Kaum perempuan
yang harus memutar otaknya untuk tetap dapat menyediakan makanan untuk
keluarganya, agar tidak mengalami kelaparan. Kesulitan apa yang dialami oleh kaum
lelakinya? Kesulitan mereka terkait dengan mata pencaharian mereka dan juga karena
penghasilan mereka menjadi berkurang nilainya akibat lonjakan harga pangan. Contohnya,
petani padi terpaksa gigit jari akibat kekeringan, karena padinya puso akibat kurang air. Petani ikan
(petambak) juga menderita, karena tambaknya mengering. Tidak ada panen berarti
tidak ada penghasilan.
Mari kita kembali kepada Al
Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam.
1. QS. Al Furqan ayat 48-49:”Dan Kami turunkan
dari langit air yang amat bersih. Agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri
(tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar
dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak.”
Kita sudah diberi contoh oleh
Rasulullah Muhammad s.a.w untuk melakukan shalat Istisqa’, shalat memohon hujan
jika mengalami kekeringan. Sambil berdoa memohon kepada Allah SWT disertai
memohon ampunan-Nya, kita kemudian dapat berikhtiar dengan teknologi hujan
buatan yang juga masih membutuhkan awan dan uap air yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT keberadaannya.
2. QS. Al A’raf ayat 10:”Sesungguhnya Kami telah
menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu
(sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.”
Kita pun harus bebas dari
menuhankan beras (nasi). Pola pikir ‘Belum makan kalau belum makan nasi” harus
dirubah. Manusia (juga makhluk hidup lainnya) harus makan untuk hidup, bukan ‘hidup untuk makan’. Kearifan lokal yang
dimiliki bangsa Indonesia sesungguhnya
adalah pemakan berbagai jenis pangan, selain beras/nasi, seperti jagung,
sagu, singkong, umbi-umbian lainnya (ganyong, gadung, ubi jalar, dll). Namun
ada kesalahan program pemerintah (program jatah beras untuk pegawai
negeri/aparat pemerintah) dan kesalahan didik yang telah dilakukan oleh segenap
penduduknya sehingga mereka membatasi dirinya sendiri hanya makan nasi,
seolah-olah makan bahan pangan lainnya (nasi jagung, sagu, tiwul, dll) kurang
baik/bermutu atau tidak ber-gengsi. Sebagai umat Islam yang bertauhid, hal ini
seharusnya dihindarkan, karena Allah SWT telah menyediakan di bumi ini berbagai
sumber penghidupan, jangan membatasi diri sendiri yang berakibat menyulitkan
diri sendiri, inilah yang dapat dikategorikan tidak bersyukur. Muslimin harus
berpegangan pada pedoman makanan yang
halal dan baik (halalan wa thayiban).
Istilah halal sudah jelas, sedangkan yang dimaksud baik itu antara lain mengandung
gizi yang dibutuhkan manusia. Bumi di mana Indonesia berada sesungguhnya mengandung
keanekaragaman hayati yang luar biasa. Penduduk Indonesia yang mayoritas
beragama Islam semestinya mampu untuk merdeka
dalam memilih makanannya, asal berprinsip halal dan baik, bukan gengsi. Merubah
pola pikir dan kebiasaan makan nasi ini memang membutuhkan waktu, tidak semudah
membalikkan tangan. Namun hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil.
Disinilah peran pendidikan keluarga
dalam menentukan menu makanan sehari-hari yang tidak harus dengan nasi. Mulai dengan mengurangi menu nasi secara
bertahap, yang biasanya makan nasi tiga kali sehari tujuh hari seminggu berarti
21 kali makan nasi, dikurangi sedikit demi sedikit menjadi 20 kali, terus 19
kali, mungkin mencapai 15 kali seminggu makan nasi sudah cukup baik. Makanan
pokok lainnya diperkenalkan secara perlahan. Insya Allah berhasil. Ibu berperan
dalam menentukan komposisi menu dan mengolah bahan makanan, sedangkan bapak (sebagai
imam) berperan dalam menentukan dan mendukung kebijakan tersebut. Kekompakan
dalam keluarga akan menentukan keberhasilan dalam melaksanakan
keputusan/kebijakan guna mencegah stres saat beras menjadi langka dan mahal.
Sekali lagi, yang penting kita makan yang halal dan baik untuk mempertahankan
hidup kita.
Wal Allahu ‘alam.