Bangsa Indonesia sudah lama memiliki prinsip kesetaraan
gender dalam kehidupan sehari-harinya, bahkan lebih maju
daripada bangsa-bangsa barat seperti Amerika dan Eropa. Sebagai salah satu contoh adalah Laksamana Malahayati
atau Keumalahayati yang berprestasi di awal abad 16, yang dapat disebut sebagai
tokoh kesetaraan gender Indonesia. Nama Laksamana Malahayati ini telah
diabadikan pada salah satu kapal perang Indonesia, KRI Malahayati.
Siapakah Laksamana Malahayati itu? Malahayati, adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Kisah perjuangan Malahayati dimulai dari sebuah perang di perairan Selat Malaka, yaitu antara armada pasukan Portugis dengan Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil. Pertempuran sengit terjadi di Teluk Haru dan dimenangkan oleh armada Aceh, tetapi dua laksamana dan ribuan prajuritnya gugur di medan perang. Setelah suaminya (sang laksamana) gugur, Malahayati bertekad meneruskan perjuangan suaminya. Untuk memenuhi tujuannya tersebut, Malahayati meminta kepada Sultan al-Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang semua prajuritnya adalah wanita-wanita janda karena suami mereka gugur dalam Perang Teluk Haru. Permintaan Malahayati dikabulkan. Ia diserahi tugas memimpin Armada Inong Balee dan diangkat sebagai laksamananya. Armada ini berkekuatan 2.000 orang. Benteng Inong Balee yang letaknya di perbukitan sekitar Teluk Lamreh Krueng Raya.
Salah satu prestasi terhebatnya adalah pada salah satu pertempuran laut (pada tanggal 11 September 1599) ia berhasil membunuh pimpinan kapal Belanda, Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal. Peristiwa ini menggegerkan bangsa Eropa, khususnya Belanda. Selain menjadi Laksamana dan Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh Darussalam, Malahayati menjabat sebagai Komandan Pasukan Wanita Pengawal Istana. Jabatan ini merupakan tugas kesultanan dalam bidang diplomasi dan ia bertindak sebagai juru runding dalam urusan-urusan luar negeri. Ia memiliki sifat dan karakter yang tegas sekaligus berani dalam menghadapi berbagai momen perundingan, baik dengan Belanda maupun Inggris. Meski begitu, sebagai diplomat yang cerdas, ia dapat bersikap ramah dan luwes dalam melakukan berbagai perundingan.
Dilihat dari konsep gender, Laks. Malahayati telah memperoleh akses, kontrol dan berpartisipasi dalam kehidupan politik dan ketahanan-keamanan negara. Tak mungkin seorang dapat menjadi laksamana pemimpin angkatan perang jika tidak memperoleh tiga aspek tersebut. Dengan demikian, sesungguhnya Indonesia telah maju dilihat dari segi kesetaraan gender dibandingkan negara-negara lain, karena pada abad 16 sudah ada pejuang perempuan yang diakui oleh kaum lelaki dan bangsa-bangsa lainnya.
Mengapa Laks. Malahayati tidak populer sebagai tokoh kesetaraan gender? Marginalisasi prestasi Laks. Malahayati ini dalam sejarah Indonesia dapat dipandang sebagai proses marginalisasi kaum perempuan dari ranah politik dan ketahanan-keamanan negara dan bangsa. Sesuatu yang sesungguhnya sudah tampak di abad 16 dinafikan atau disingkirkan, sehingga seolah-olah tokoh emansipasi perempuan adalah yang bergerak di bidang pendidikan saja. Hal ini memang sesuai dengan stereotipi perempuan bertanggungjawab terhadap pendidikan keluarga dan sekitarnya (di wilayah domestik), sedangkan kaum lelaki-lah yang bertanggungjawab di bidang politik dan ketahanan-keamanan (termasuk wilayah publik). Jika kita jujur terhadap sejarah Indonesia, Laks. Malahayati lebih sesuai sebagai tokoh kesetaraan gender Indonesia, bukan sekedar emansipasi perempuan.
Kita sering mendengar tentang ‘serahkan urusan kepada ahlinya’, demikian halnya dengan Laks. Malahayati yang piawai dalam urusan pemerintah dan militer, bukan karena beliau adalah seorang perempuan, tetapi karena beliau adalah pakar di bidangnya. Tidak tertutup kemungkinan Laks. Malahayati mencontoh semangat juang yang dimiliki oleh kaum muslimah di zaman Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa saallam (saw). Wal Allahu ‘alam.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengajak memberi akses kepada kaum perempuan untuk menentukan pilihannya serta membuka akses kepada kaum perempuan untuk dapat berkontribusi di sektor publik, tidak hanya di sektor domestik saja. Pilihan tersebut akan dibuat oleh individu perempuan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya, kita tidak dapat mengeneralisasikan bahwa semua perempuan Indonesia ingin berkiprah di sektor publik, karena setiap individu adalah unik, memiliki bakat, kemampuan, kebutuhan dan keinginan yang spesifik. Yang terpenting adalah adanya keseimbangan (equilibrium), baik keseimbangan tujuan hidup dunia dan akhirat, keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan orang lain (keluarga dan masyarakat umum), serta memiliki tujuan untuk kemaslahatan masyarakat sesuai syariah.