Seorang
perempuan sejak hamil sudah mulai menapakkan dirinya menjadi seorang ibu. Masa
kehamilan sembilan bulan adalah masa yang berat, berat secara mental rohani dan
fisik tubuh. Perempuan hamil tersebut harus menjaga kondisi tubuhnya agar tetap
sehat dan bugar karena dia tidak hanya menanggung satu diri tetapi juga janin
yang belum kasat mata tetapi sudah terasa kehadirannya, yaitu dengan cara
menjaga kesehatan, makan minum yang teratur dan istirahat yang cukup. Disamping
itu, perempuan hamil juga harus mampu menjaga hati dan emosinya. Hal inilah
yang terberat karena tidak tampak. Emosi perempuan hamil tidak stabil, mudah
marah, mudah menangis alias sentimentil, mudah tersinggung, dan perasaan
negatif lainnya. Oleh karena itu, perempuan hamil perlu menjaga kestabilan
emosinya dengan berbagai cara. Ada dengan cara mendengar musik klasik, membaca
dan melihat hal-hal yang menyenangkan mata, dsbnya. Khusus muslimah hamil, adalah
dengan shalat, mengaji –dibantu oleh suami yang mengaji juga, sang istri
mendengarkan- dan berdzikir adalah cara yang terbaik, karena pada saat itu
ketawakalan dalam menghadapi kondisi kehamilan secara internal dalam dirinya
dan lingkungan eksternal di luar dirinya sangat memberikan pengaruh kepada
janin dalam kandungannya. Ini sudah merupakan pendidikan dini bagi janin
tersebut.
Setelah bayi
dilahirkan, mulai pendidikan pertama berupa adzan dan iqamat yang dibacakan di
telinga kanan dan kiri bayi oleh sang ayah. Itu adalah pendidikan agama pertama
yang diterima sang bayi, agar kelak dia menjalankan shalat. Dalam
kesehariannya, sang ibu menyusui ASI (air susu ibu) kepada sang bayi, yang
berarti pendidikan kasih sayang kepada sang bayi, bahwa kontak tubuh ini
merupakan bagian dari bentuk kasih sayang. Selanjutnya, hari demi hari, waktu
demi waktu, bayi tumbuh berkembang menjadi anak balita (bawah lima tahun). Dia
mulai belajar tengkurap, merayap, berjalan tertatih, hingga berlari, semuanya
ini dijalankan secara bertahan (step-by-step),
tidak secara karbitan (dipaksa), semua berjalan secara alami. Oleh karena
secara bertahap, maka anak tersebut dapat bergerak dengan stabil, tidak mudah
jatuh. Proses inilah yang kelak akan diajarkan kepada individu baru ini bahwa Jalanilah hidup secara bertahap, sehingga
kuat menghadapi kendala dalam hidup.
Intelektual
anak mulai diasah dengan mendengar nyanyian (tembang oleh orang Jawa),
mendengar alunan ayat Al Qur’an, diajak bercakap-cakap, mendengar dongeng atau
cerita yang berarti pembelajaran bahasa dan kecakapan bicara kepada anak.
Selain itu, mulai anak diajar keterampilan motoriknya dengan berlari, melompat,
melipat, mewarnai, dsbnya. Intelektual anak sudah umum diasah oleh orangtuanya,
kemudian gurunya dan lingkungan anak tersebut, sehingga terbentuk anak yang pandai.
Bagaimana
dengan emosi anak? Inilah yang jarang diperhatikan oleh orangtua. Balita
dianggap anak yang tidak tahu apa-apa, padahal anak manusia diberi oleh Allah
SWT kecerdasan. Intelektual anak selanjutnya diasah oleh orangtuanya, kemudian
gurunya dan lingkungan anak tersebut, sehingga terbentuk anak yang pandai.
Bagaimana
dengan emosi anak? Inilah yang jarang diperhatikan oleh orangtua. Anak manusia
pada umumnya cerdas. Bayi pun mampu memanipulasi orang dewasa dengan tangisan
manja, bukan karena sakit, lapar, haus atau gangguan buang hajatnya. Dengan
tangisan itu, anak ingin segera digendong. Orang dewasa senang menggendong
bayi, bayi senang digendong agar dapat bergerak ke mana-mana. Anak yang sudah
mengenal gendongan, akan selalu minta digendong untuk semua urusannya. Sebenarnya
ada satu cara untuk menunjukkan kasih sayang tetapi tanpa banyak menggendong,
yaitu dengan cara dipangku. Bayi sedang dipangku akan ada kontak tubuh dan
pelukan. Oleh karena dipangku tidak banyak bergerak (pasti yang memangku harus
duduk), lama kelamaan si bayi ada keinginan untuk berjalan, inilah salah satu
pendidikan untuk bayi agar punya semangat untuk belajar, yaitu belajar
berjalan. Umumnya anak yang jarang digendong akan lebih cepat berjalan
dibandingkan anak yang selalu digendong.
Salah satu
hadits Rasulullah saw berbunyi Belajarlah
mulai dari buaian hingga ke liang lahat. Dari buaian bayi inilah bayi
tersebut mulai belajar, seperti mendengar suara yang menyejukkan, warna warni
yang berkelebat di depan matanya, memanggil dengan suaranya, bergerak untuk
tengkurap/terlentang dan akhirnya merangkak, berdiri dan berjalan.
Emosi bayi pun
mulai diasah, dengan tidak segera diangkat/digendong oleh orang dewasa jika dia
menangis tanpa sebab. Awalnya dia frustasi, tetapi kemudian dia belajar untuk
sabar dan mengerti dengan kecerdasan yang telah diberikan Allah SWT kepadanya. Di
kemudian hari, sang bayi yang sudah menjadi anak juga diperlakukan sama. Biar
dia berusaha dahulu, mengalami kesulitan, merasakan sakit jika jatuh yang
ringan, sehingga dia akan terbiasa dengan kondisi dan situasi yang buruk. Seperti
pepatah Bisa karena biasa. Kelak dia
akan menjadi individu yang kuat
Pada dasarnya
pemanjaan anak oleh orangtua dan sekelilingnya akan merusak kemampuan anak itu
sendiri serta masa depannya. Anak manja cenderung menjadi individu dengan
karakter yang lemah, seperti egois, tidak mampu berbagi, tidak kuat menahan tekanan
(stres), mudah frustasi, mudah mengeluh, dan jika lemah iman kepada Allah SWT akan
menjadi manusia yang ingkar nikmat. Individu-individu yang manja dan lemah ini
sulit untuk struggle (berjuang) dalam
menghadapi kompetisi hidup. Pada akhirnya akan merepotkan orang lain, yang
berarti menjadi individu yang tidak memberikan manfaat kepada orang lain, untuk
dirinya sendiri saja tidak mampu apalagi untuk orang lain.
Bermain adalah
pengalaman belajar untuk bayi dan anak. Ibu dan ayah hendaknya mengajar anaknya
bermain, bernyanyi, berbicara dan bercanda. Dengan kegembiraan tersebut, anak
belajar tentang kebahagiaan. Tertawa dapat dibeli dengan uang, tetapi
kebahagiaan tidak dapat dibeli dengan uang, karena terkandung ketulusan di
dalamnya. Anak yang bahagia kelak akan mudah berbagi kebahagiaan dengan orang
lain di sekitarnya. Biarlah anak-anak bermain dengan bebas dan sehat, karena
usia tidak akan kembali lagi. Masa akan hilang dan digantikan dengan masa yang
lainnya. Marilah kita, para orangtua, memberikan kebahagiaan yang tulus (tanpa
materi) kepada anak-anak kita, termasuk anak-anak di sekitar kita, agar mereka
menjadi generasi yang bahagia dan menghargai dirinya sendiri.
Mendidik
bukanlah monopoli dan tugas seorang ibu, ayah pun memiliki andil di dalam
mempersiapkan masa depan anaknya, akan menjadi individu yang seperti apakah
kelak sang anak tersebut? Paradigma tentang ibu adalah pendidik utama dalam
keluarga harus diubah. Rasulullah saw pun dulu mendidik anak-anaknya -baik anak
kandung maupun anak tirinya- sehingga menjadi individu yang shaleh dan berguna,
meskipun beliau sibuk mengurus umatnya dan berdakwah. Dalam Islam, orangtua
dianjurkan membaca doa sebagai berikut:
“Rabbanaa hablanaa min azwaa jinaa wa dzurriyyaatinaa qurrata a’yun,
waj’alnaa lilmuttaqiina imaamaa.” (Ya Allah, anugerahkanlah
kepada kami pasangan kami dan keturunan
kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa). (QS. Al
Furqan ayat 74).
Jadikan anakmu menjadi anak yang shaleh, cerdas,
bahagia, dan sehat (Make your kid to be a shalih, smart, happy and healthy
kid).
Sumber
gambar: http://www.icnareliefcanada.ca/domestic/mfs/