Pernyataan “kaya tanpa merokok” sama artinya dengan pernyataan “miskin karena rokok”. Mengapa demikian?
Rokok adalah
sesuatu barang yang diisap dan mengeluarkan asap yang tanpa memberikan manfaat
bagi tubuh, baik tubuh perokok sendiri maupun tubuh orang yang berada di
sekitarnya. Sudah banyak penelitian tentang dampak negatif merokok serta zat
yang terkandung dalam rokok dan asapnya. Penelitian tersebut pun sudah tersebar
dengan luas di masyarakat, tetapi tetap saja orang yang sudah kecanduan rokok
tidak mau berhenti merokok.
Ada dua gambaran
yang akan saya kemukakan terkait rokok dan kekayaan. Pertama, saya pernah
memiliki kawan yang merupakan seorang anak saudagar tembakau kaya. Tembakau merupakan
salah satu bahan untuk rokok. Kawan saya bercerita bahwa ayahnya melarang
dengan keras anak-anaknya merokok. Jika ada anaknya yang melanggar larangannya
tersebut, sang ayah akan menghukumnya dengan keras. Mengapa demikian? Sang ayah
tahu bahwa merokok tidak baik untuk kesehatan. Jadi keluarganya dilarang
merokok. Tembakau hasil panenannya adalah untuk dijadikan rokok yang diisap
oleh orang lain. Hasil panenannya inilah yang membuat kaya keluarga besar kawan
saya.
Secara logis,
petani padi atau sayuran atau petani ikan akan memanfaatkan sebagian dari hasil
panennya untuk dikonsumsi oleh keluarganya, disamping untuk dijual kepada orang
lain. Hal itu dikarenakan dia ingin menikmati hasil jerih payahnya bersama
keluarga dan produknya tersebut memberi manfaat bagi tubuh mereka. Namun bagi
petani tembakau tidak selalu demikian, mendatangkan keuntungan ekonomi bagi
keluarganya tanpa mengindahkan kerugian bagi keluarga konsumennya.
Gambaran kedua
saya jumpai saat mewawancarai responden saya yang berprofesi sebagai nelayan
kecil. Penyebutan nelayan kecil karena mereka mencari atau menangkap ikan di
dekat pantai dan menggunakan perahu kecil, hasil tangkapannya pun tidak terlalu
banyak. Beberapa nelayan tersebut menyatakan bahwa mereka tidak punya uang
alias tidak kaya. Saat ditanya tentang sekolah anak-anak mereka, jawabannya adalah
mereka hanya mampu menyekolahkan anaknya sampai tingkat sekolah dasar (SD) saja
karena tidak punya uang untuk menyekolahkan ke tingkat yang lebih lanjut (SMP).
Ironisnya, sang nelayan menyatakan bahwa mereka itu miskin sambil tetap merokok
di hadapan pewawancara. Hal tersebut menunjukkan suatu kondisi yang ironis, tidak
punya uang untuk menyekolahkan anaknya (miskin) tetapi mampu membeli rokok
rata-rata dua bungkus sehari. Demi kenikmatan atau kesenangan sesaat sang ayah,
masa depan anaknya tidak diperhatikan.
Ditinjau dari
segi keadilan gender, yang banyak diuntungkan dalam hal ini adalah sang ayah (lelaki
dewasa). Meskipun dalam kondisi tidak punya uang (saat paceklik), tetapi tetap
masih dapat merokok meski dari segi harga adalah rokoknya yang termurah. Pada
saat panen, harga rokoknya pun meningkat, seperti rokok Gudang Garam atau Dji
Sam Soe yang mahal. Bagaimana dengan sang ibu (perempuan dewasa)? Dia tidak
merasakan kenikmatan atau kesenangan yang setara dengan sang suami, karena sang
ibu tidak merokok. Istri harus tetap menyisihkan uang untuk pembelian rokok
sang suami, disamping belanja keperluan rumah tangganya. Demikian halnya dengan
anak-anaknya baik lelaki maupun perempuan, sama-sama dirugikan karena tidak
dapat lanjut sekolah. Pada umumnya sang anak lelaki bekerja sebagai nelayan
juga; sedangkan anak perempuan kadangkala dinikahkan. Semua itu dilakukan untuk
meringankan beban keluarga.
Dari uraian di
atas, tampak bahwa rokok itu merugikan kesehatan tubuh dan mengurangi kemakmuran
keluarga sang perokok. Disamping itu menunjukkan bahwa kekayaan para pengusaha
rokok di Indonesia bersumber dari uang orang-orang miskin yang perokok. Ironis
sekali. Sayang sekali mutu sumber daya manusia Indonesia dihancurkan oleh rokok
yang tidak ada manfaatnya bagi tubuh dan finansial, selain hanya untuk sekedar
kesenangan saja.
Semoga Allah SWT
memberikan hidayah dan kekuatan kepada kita untuk meningkatkan mutu bangsa
Indonesia dengan mengelimir rokok dari kehidupan keluarga Indonesia. Aamiin….