Jumat, 21 Desember 2012

PENDIDIKAN GENDER



Ada beberapa hadits Rasulullah saw, terkait penyimpangan gender, sebagai berikut: ”Rasulullah s.a.w. melaknat kepada orang-orang lelaki yang menyerupakan diri sebagai kaum wanita dan orang-orang perempuan yang menyerupakan diri sebagai kaum pria." (Riwayat Bukhari). Hadits yang lain, Dari Abu Hurairah r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w. melaknat kepada seorang lelaki yang mengenakan pakaian orang perempuan, juga melaknat orang perempuan yang mengenakan pakaian orang lelaki." Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dengan isnad shahih.
Saat ini di dunia modern, dikenal dengan istilah androgini (androgynous) yaitu seseorang yang memiliki dua karakteristik lelaki dan perempuan, sehingga orang lain dapat salah sangka terhadap gender (lelaki atau perempuan) dari orang tersebut. Androgini itulah salah satu contoh dari isi hadits Rasulullah saw di atas. Penyimpangan gender ini dapat dikatakan banyak terjadi akibat pengaruh lingkungan (phenotype), seperti pengaruh dari pendidikan orangtua, pergaulan sekitar, budaya dan media massa.
Dalam Islam, orangtua menerima amanah dari Allah SWT untuk mendidik anak-anaknya menjadi seseorang yang memiliki karakter yang diharapkan oleh agama, yaitu seseorang mukmin yang shaleh, cerdas, bertanggungjawab dan memiliki etos kerja yang tinggi, Karakter-karakter insani yang mumpuni tersebut sudah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw, seperti tuntunan dalam QS. Al Ahzab ayat 21 :”Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah”. Kita akan tahu bahwa cara Rasul saw mendidik keturunannya dan orang-orang di sekitarnya dari Sirah Nabawiyah. Rasul saw memberikan contoh perilaku (action) sembari memberikan tuntunan secara lisan.    
Ada pendapat modern yang menyatakan biarlah anak tumbuh-kembang bebas gender. Maksud pendapat ini, orangtua tidak perlu membedakan perlakuan antara anak lelaki dan perempuan pada saat masih usia balita (bawah lima tahun). Di Eropa dan Amerika, anak lelaki dilambangkan dengan barang-barang (pakaian dan perlengkapannya) berwarna biru, sedangkan anak perempuan dilambangkan dengan warna merah atau merah muda. Kita, yang hidup di Indonesia, tergiring oleh cara berpikir mereka juga, tentunya akibat pemasaran dan promosi media yang gencar. Sesungguhnya dalam ajaran Islam tidak ada pengkhususan warna untuk sesuatu hal, terkecuali baju ihram lelaki sebaik-baiknya berwarna putih, itu saja, jadi untuk bayi/anak lelaki dan perempuan tidak perlu dibeda-bedakan warna pakaian dan pernak-pernik-nya. Dengan perjalanan waktu, bayi yang tumbuh-kembang menjadi balita yang telah mampu berjalan, mulai diperkenalkan pakaian yang sesuai dengan gender, sesuai ajaran Islam. 
Dalam Islam, bayi berumur sebelum 40 hari dan memiliki orangtua yang mampu, di-sunnah-kan dilaksanakan akikah. Di sini sudah ada penentuan jumlah hewan kambing yang harus disembelih untuk akikah berdasarkan gender, yakni dua ekor untuk bayi lelaki dan satu ekor untuk bayi perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa orangtua dan komunitas sekitarnya telah tahu dan sadar tentang gender dari bayi yang baru saja dilahirkan, selanjutnya mereka harus mendidik sesuai dengan gender tersebut.
Terkait hadits di awal tulisan ini, sudah jelas bahwa pakaian perempuan muslim (muslimah) jelas-jelas berbeda dengan pakaian lelaki muslim, yakni adanya perbedaan aurat. Pakaian muslimah adalah ber-hijab, harus menutup seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan, tidak tipis (tembus pandang), tidak menunjukkan bentuk atau lekuk tubuhnya. Jelas-jelas berbeda dengan pakaian lelaki yang tidak menggunakan aturan yang sama, karena aurat lelaki adalah antara pusar dan lutut. Jadi bagaimana orangtua tersebut mencontohkan dan mendidik kepada anaknya, menentukan bagaimana kelak anak tersebut berpenampilan, apakah mengikuti syariah atau tidak.  
Pendidikan gender ini kemudian akan mengajarkan anak tentang status dalam shalat jamaah. Gender yang dapat menjadi imam adalah lelaki, baik sebagai imam pada jamaah lelaki maupun perempuan. Berbeda dengan perempuan yang hanya dapat menjadi imam kepada sesama makmum perempuan. Aturan yang menyangkut ibadah ini sangat penting karena ada usaha-usaha dari kaum liberalis untuk mengubah aturan agama terkait imam shalat dengan mengatasnamakan kesetaraan gender, kesetaraan gender tidak berlaku untuk urusan ibadah kepada Allah SWT, muslimin wajib mengikuti syariah. Jangan sampai anak keturunan kita menjadi orang beragama Islam tetapi merusak ajarannya, na’udzubillah min dzalik.
Gender inipun terkait dengan status dalam perkawinan, dimana lelaki berstatus sebagai suami yang wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak, sedangkan perempuan berstatus sebagai istri yang wajib taat kepada suami yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Jangan sampai terjadi seorang suami tidak bertanggungjawab kepada keluarganya, sehingga sang suami menggantungkan hidupnya kepada jerih payah sang istri yang membuat istri memegang kendali dalam rumahtangga. Salah satu contoh adalah perempuan yang menjadi tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia di luar negeri, apalagi yang bekerja di negara Timur Tengah. Banyak di antara mereka yang tidak didampingi oleh mahramnya, akibatnya sering terdengar kabar pelecehan seksual terhadap mereka. Penulis saat menunaikan ibadah haji merasakan ketidaknyamanan suasana di tempat terbuka di kota Makkah dan Madinah. Perempuan harus ekstra waspada dan mawas diri, peluang kejahatan seksual di sana lebih tinggi daripada di Indonesia. Penulis pernah membaca tentang mualaf perempuan dari negara minoritas Islam (seperti Amerika Serikat) yang mengalami kesulitan mendapat visa haji karena mereka tidak memiliki mahram pendamping. Betapa mudahnya TKW Indonesia yang dapat bekerja di negara-negara Arab tanpa mahram, sedangkan untuk calon jamaah haji perempuan harus didampingi mahram. Hal ini sebenarnya harus menjadi pekerjaan rumah bagi ulama Indonesia tentang pelanggaran aturan agama, jangan mengandalkan aparat pemerintah dan pengusaha saja yang cenderung mencari keuntungan atau devisa, demi kemaslahatan umat muslim Indonesia.
Wal Allahu ‘alam bishawab

Jumat, 07 Desember 2012

PRAJURIT MUSLIMAH PERANG UHUD


Ada salah satu kisah dari kehidupan Rasulullah Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam (saw) terkait dengan kegigihan seorang perempuan. Tulisan kali ini terkait pejuang perempuan yang membantu Rasul saat Perang Uhud dalam rangka menegakkan agama Allah SWT.

Nasibah binti Ka’ab atau Ummu ‘Umarah termasuk kelompok perempuan Madinah (Anshar) yang pertama-tama masuk Islam, yaitu kelompok pertama yang di-baiat Rasulullah saw di ‘Aqabah. Dia ikut serta dalam beberapa perang besar bersama Nabi saw. Dia bertugas melayani dan membantu para mujahidin yang terluka atau kehausan, membangkitkan semangat juang, dan jika memungkinkan, dia juga menghunuskan senjata dan berperang sebagai seorang prajurit.

Nasibah binti Ka’ab adalah pejuang perempuan yang melindungi Rasulullah saw pada perang Uhud. Nasibah adalah salah satu orang yang tetap tinggal melindungi Rasul yang sudah terluka akibat terkena panah musuh. Ia bertempur dengan gigihnya sambil merintangi orang kafir berkuda yang hendak menyerang Nabi, sampai ia mendapat 13 luka. Dia berperang menggunakan panah dan pedang. Karena tanpa perisai (tameng), sedangkan tubuhnya sudah luka akibat menangkal anak panah yang ditujukan ke Rasul, maka Rasul pun menyerahkankan sebuah perisai kepada Nasibah untuk melindungi tubuhnya. Pada saat Nabi saw akan dibunuh oleh Ibnu Qami’ah yang berkuda, ia melawan Ibnu Qami’ah dengan melontarkan pukulan pedang. Ibnu Qami’ah membalas pukulan pedang tersebut dan berhasil menikam pundak Nasibah. Meskipun luka-luka, tetapi Nasibah berhasil melindungi Rasulullah saw. Setelah pertempuran tersebut, Rasulullah banyak menceritakan semangat juang Nasibah kepada khalayak umum untuk dicontoh, antara lain,”derajat Nasibah pada hari ini lebih tinggi daripada derajat siapa pun, aku (Nabi) selalu melihatnya di tempat mana pun, aku senantiasa melihat Nasibah sedang berperang di belakangku”.

Suatu ketika, Nasibah bertanya kepada Rasul:“Ya Rasulullah, aku melihat sesuatu itu untuk kaum lelaki dan aku tidak melihat sesuatu yang ditujukan pada kaum perempuan”.  Surat Al Ahzab (33) ayat 35 diturunkan Allah SWT untuk menjawab pertanyaannya:”Sesungguhnya lelaki dan perempuan yang muslim, ... yang mukmin, ... yang tetap dalam ketaatannya, ... yang benar, ... yang sabar, ... yang khusyu, ... yang bersedekah, ... yang berpuasa, ... yang memelihara kehormatannya, ... yang banyak menyebut nama Allah, maka Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”

Hikmah dari kisah di atas, kaum perempuan mempunyai hak yang sama untuk turut dalam peperangan, apalagi dalam perjuangan penegakan agama Allah (fii sabilillah). Jihad fii sabilillah dalam bentuk perang memang diwajibkan atas lelaki muslim, tetapi perempuan muslim diperbolehkan untuk berjihad fii sabilillah jika mampu. Kaum lelaki dan perempuan yang beriman kepada Allah SWT akan mendapatkan ampunan dan pahala yang sama, semua tergantung pada perilakunya, bukan perbedaan gendernya.
Arti dari surat Al Ahzab (33) ayat 21 sebagai berikut:”Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah”.
Wal Allahu ‘alam.

Rabu, 07 November 2012

ORANGTUA, PENDIDIK PERTAMA



Seorang perempuan sejak hamil sudah mulai menapakkan dirinya menjadi seorang ibu. Masa kehamilan sembilan bulan adalah masa yang berat, berat secara mental rohani dan fisik tubuh. Perempuan hamil tersebut harus menjaga kondisi tubuhnya agar tetap sehat dan bugar karena dia tidak hanya menanggung satu diri tetapi juga janin yang belum kasat mata tetapi sudah terasa kehadirannya, yaitu dengan cara menjaga kesehatan, makan minum yang teratur dan istirahat yang cukup. Disamping itu, perempuan hamil juga harus mampu menjaga hati dan emosinya. Hal inilah yang terberat karena tidak tampak. Emosi perempuan hamil tidak stabil, mudah marah, mudah menangis alias sentimentil, mudah tersinggung, dan perasaan negatif lainnya. Oleh karena itu, perempuan hamil perlu menjaga kestabilan emosinya dengan berbagai cara. Ada dengan cara mendengar musik klasik, membaca dan melihat hal-hal yang menyenangkan mata, dsbnya. Khusus muslimah hamil, adalah dengan shalat, mengaji –dibantu oleh suami yang mengaji juga, sang istri mendengarkan- dan berdzikir adalah cara yang terbaik, karena pada saat itu ketawakalan dalam menghadapi kondisi kehamilan secara internal dalam dirinya dan lingkungan eksternal di luar dirinya sangat memberikan pengaruh kepada janin dalam kandungannya. Ini sudah merupakan pendidikan dini bagi janin tersebut.
Setelah bayi dilahirkan, mulai pendidikan pertama berupa adzan dan iqamat yang dibacakan di telinga kanan dan kiri bayi oleh sang ayah. Itu adalah pendidikan agama pertama yang diterima sang bayi, agar kelak dia menjalankan shalat. Dalam kesehariannya, sang ibu menyusui ASI (air susu ibu) kepada sang bayi, yang berarti pendidikan kasih sayang kepada sang bayi, bahwa kontak tubuh ini merupakan bagian dari bentuk kasih sayang. Selanjutnya, hari demi hari, waktu demi waktu, bayi tumbuh berkembang menjadi anak balita (bawah lima tahun). Dia mulai belajar tengkurap, merayap, berjalan tertatih, hingga berlari, semuanya ini dijalankan secara bertahan (step-by-step), tidak secara karbitan (dipaksa), semua berjalan secara alami. Oleh karena secara bertahap, maka anak tersebut dapat bergerak dengan stabil, tidak mudah jatuh. Proses inilah yang kelak akan diajarkan kepada individu baru ini bahwa Jalanilah hidup secara bertahap, sehingga kuat menghadapi kendala dalam hidup.  
Intelektual anak mulai diasah dengan mendengar nyanyian (tembang oleh orang Jawa), mendengar alunan ayat Al Qur’an, diajak bercakap-cakap, mendengar dongeng atau cerita yang berarti pembelajaran bahasa dan kecakapan bicara kepada anak. Selain itu, mulai anak diajar keterampilan motoriknya dengan berlari, melompat, melipat, mewarnai, dsbnya. Intelektual anak sudah umum diasah oleh orangtuanya, kemudian gurunya dan lingkungan anak tersebut, sehingga terbentuk anak  yang pandai.
Bagaimana dengan emosi anak? Inilah yang jarang diperhatikan oleh orangtua. Balita dianggap anak yang tidak tahu apa-apa, padahal anak manusia diberi oleh Allah SWT kecerdasan. Intelektual anak selanjutnya diasah oleh orangtuanya, kemudian gurunya dan lingkungan anak tersebut, sehingga terbentuk anak  yang pandai.
Bagaimana dengan emosi anak? Inilah yang jarang diperhatikan oleh orangtua. Anak manusia pada umumnya cerdas. Bayi pun mampu memanipulasi orang dewasa dengan tangisan manja, bukan karena sakit, lapar, haus atau gangguan buang hajatnya. Dengan tangisan itu, anak ingin segera digendong. Orang dewasa senang menggendong bayi, bayi senang digendong agar dapat bergerak ke mana-mana. Anak yang sudah mengenal gendongan, akan selalu minta digendong untuk semua urusannya. Sebenarnya ada satu cara untuk menunjukkan kasih sayang tetapi tanpa banyak menggendong, yaitu dengan cara dipangku. Bayi sedang dipangku akan ada kontak tubuh dan pelukan. Oleh karena dipangku tidak banyak bergerak (pasti yang memangku harus duduk), lama kelamaan si bayi ada keinginan untuk berjalan, inilah salah satu pendidikan untuk bayi agar punya semangat untuk belajar, yaitu belajar berjalan. Umumnya anak yang jarang digendong akan lebih cepat berjalan dibandingkan anak yang selalu digendong.
Salah satu hadits Rasulullah saw berbunyi Belajarlah mulai dari buaian hingga ke liang lahat. Dari buaian bayi inilah bayi tersebut mulai belajar, seperti mendengar suara yang menyejukkan, warna warni yang berkelebat di depan matanya, memanggil dengan suaranya, bergerak untuk tengkurap/terlentang dan akhirnya merangkak, berdiri dan berjalan.
Emosi bayi pun mulai diasah, dengan tidak segera diangkat/digendong oleh orang dewasa jika dia menangis tanpa sebab. Awalnya dia frustasi, tetapi kemudian dia belajar untuk sabar dan mengerti dengan kecerdasan yang telah diberikan Allah SWT kepadanya. Di kemudian hari, sang bayi yang sudah menjadi anak juga diperlakukan sama. Biar dia berusaha dahulu, mengalami kesulitan, merasakan sakit jika jatuh yang ringan, sehingga dia akan terbiasa dengan kondisi dan situasi yang buruk. Seperti pepatah Bisa karena biasa. Kelak dia akan menjadi individu yang kuat
Pada dasarnya pemanjaan anak oleh orangtua dan sekelilingnya akan merusak kemampuan anak itu sendiri serta masa depannya. Anak manja cenderung menjadi individu dengan karakter yang lemah, seperti egois, tidak mampu berbagi, tidak kuat menahan tekanan (stres), mudah frustasi, mudah mengeluh, dan jika lemah iman kepada Allah SWT akan menjadi manusia yang ingkar nikmat. Individu-individu yang manja dan lemah ini sulit untuk struggle (berjuang) dalam menghadapi kompetisi hidup. Pada akhirnya akan merepotkan orang lain, yang berarti menjadi individu yang tidak memberikan manfaat kepada orang lain, untuk dirinya sendiri saja tidak mampu apalagi untuk orang lain.  
Bermain adalah pengalaman belajar untuk bayi dan anak. Ibu dan ayah hendaknya mengajar anaknya bermain, bernyanyi, berbicara dan bercanda. Dengan kegembiraan tersebut, anak belajar tentang kebahagiaan. Tertawa dapat dibeli dengan uang, tetapi kebahagiaan tidak dapat dibeli dengan uang, karena terkandung ketulusan di dalamnya. Anak yang bahagia kelak akan mudah berbagi kebahagiaan dengan orang lain di sekitarnya. Biarlah anak-anak bermain dengan bebas dan sehat, karena usia tidak akan kembali lagi. Masa akan hilang dan digantikan dengan masa yang lainnya. Marilah kita, para orangtua, memberikan kebahagiaan yang tulus (tanpa materi) kepada anak-anak kita, termasuk anak-anak di sekitar kita, agar mereka menjadi generasi yang bahagia dan menghargai dirinya sendiri.   
Mendidik bukanlah monopoli dan tugas seorang ibu, ayah pun memiliki andil di dalam mempersiapkan masa depan anaknya, akan menjadi individu yang seperti apakah kelak sang anak tersebut? Paradigma tentang ibu adalah pendidik utama dalam keluarga harus diubah. Rasulullah saw pun dulu mendidik anak-anaknya -baik anak kandung maupun anak tirinya- sehingga menjadi individu yang shaleh dan berguna, meskipun beliau sibuk mengurus umatnya dan berdakwah. Dalam Islam, orangtua dianjurkan membaca doa sebagai berikut:
“Rabbanaa hablanaa min azwaa jinaa wa dzurriyyaatinaa qurrata a’yun, waj’alnaa lilmuttaqiina imaamaa.” (Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa). (QS. Al Furqan ayat 74).
Jadikan anakmu menjadi anak yang shaleh, cerdas, bahagia, dan sehat (Make your kid to be a shalih, smart, happy and healthy kid).