Minggu, 18 Maret 2012

KDRT


KDRT adalah singkatan dari istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pemerintah Indonesia telah menerbitkan UU Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Saat ini kasus KDRT banyak dimuat di berbagai media massa, akibat perkembangan teknologi yang canggih dan perubahan pola pikir. KDRT sudah ada sejak dahulu kala, sejak ada lembaga pernikahan, karena tidak mungkin ada istilah kekerasan dalam rumah tangga jika tidak ada pernikahan itu sendiri. Dulu KDRT tidak pernah diungkapkan ke ranah publik, karena dianggap membuka aib keluarga, akibatnya banyak kejadian KDRT yang mengakibatkan luka serius bahkan kematian bagi sang korban, sedangkan sang pelaku tidak memperoleh sanksi hukum alias bebas. Dengan demikian, tidak ada keadilan bagi sang korban.

Contoh KDRT di negara India. Perempuan India membawa mas kawin untuk sang suami. Akibat kemiskinan, mas kawin tersebut di-utang. Akibat utang mas kawin tidak dibayarkan, sang istri pun kemudian mengalami penyiksaan dari suami, KDRT tersebut dapat menyebabkan kematian seorang istri di India.

Bagaimana dengan KDRT di Indonesia? Oleh karena penduduk Indonesia mayoritas Islam (lelaki yang menyerahkan mas kawin), penyebab KDRT seperti contoh di India tersebut dapat dikatakan hampir tidak ada. Namun penyebab-penyebab lain tetap ada, antara lain akibat kemiskinan terjadi KDRT, karena mabuk minuman keras (meskipun penduduk Indonesia mayoritas Islam, tetapi minuman keras subur dijual-belikan serta dikonsumsi). Selain itu, pertengkaran suami-istri pun dapat berakhir dengan KDRT.        

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa latar belakang pelaku dan korban KDRT bermacam-macam, baik dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi dan sosial-budaya. Penyebab kasus KDRT pun ini bermacam-macam, masalah sosio-ekonomi atau sosio-budaya atau kejiwaan.

Pelaku KDRT ada yang lelaki ada pula yang perempuan, dan korbannya pun demikian, lelaki atau perempuan. Namun berdasarkan anggapan masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan lelaki adalah makhluk yang kuat, maka kasus KDRT yang banyak timbul dan diekspos akhir-akhir ini adalah KDRT dengan korban perempuan dan pelaku lelaki. Pada umumnya korban KDRT takut mengungkapkan tindakan dzalim yang diterimanya tersebut karena dapat menerima ancaman atau tindakan yang lebih kejam lagi.

Bahaya dari adanya KDRT adalah perilaku sang pelaku (ayah atau ibu) dapat ditiru oleh sang anak. Sang anak kelak di kemudian hari, setelah menikah, dapat melakukan hal yang sama dalam hal KDRT, kecuali anak yang cerdas dan memiliki kepribadian kuat saja yang mampu TIDAK meniru perilaku KDRT ini. Imitasi perilaku ini dapat terjadi karena tindakan KDRT tersebut dianggap umum akibat penutupan aib keluarga tersebut.

Saya pernah membaca beberapa tulisan yang memuat respon negatif tentang UU Penghapusan KDRT ini. Hal ini akibat kurangnya sosialisasi dari Pemerintah. Selain itu, adanya anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam lingkup rumah tangga seharusnya dirahasiakan karena merupakan suatu aib keluarga, atasnama perintah agama (dalam  arti sempit). Padahal dalam kenyataannya, peristiwa KDRT di suatu rumah dapat terdengar oleh tetangga mereka. Sesungguhnya hal ini tidak adil bagi si korban, karena atas nama rahasia aib keluarga, si korban harus mengalami penderitaan dan ketidakadilan. Allah SWT Maha Adil, umatnya pun harus mengikutinya, bagaimana cara menegakkan keadilan itu. Jika dalam lingkup keluarga dan rumah tangga saja, keadilan tidak dapat ditegakkan, bagaimana penegakan keadilan di masyarakat luas yang tidak ada hubungan darah atau kerabat dengan seseorang?

Penyebab pertengkaran (mungkin aib) boleh dirahasiakan, tetapi KDRT HARUS DICEGAH. Apa pun alasannya, KDRT harus dicegah, karena KDRT adalah perbuatan dzalim. Orang yang beriman dan bertakwa akan mencontoh perilaku Rasulullah Muhammad saw dalam mengatasi masalah dalam keluarga.  

Dengan demikian, apa UU KDRT itu diperlukan? Peraturan perundang-undangan diterbitkan karena situasi dan kondisi saat itu memang membutuhkan
. Dalam kenyataannya masyarakat muslim Indonesia, yang mayoritas, belum mencontoh perilaku Rasulullah saw, maka masih membutuhkan bantuan (intervensi) UU buatan manusia dan Pemerintah.

Pertimbangan diterbitkan UU ini menurut Pemerintah RI adalah bahwa (1) segala bentuk kekerasan, terutama KDRT, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus; (2) korban KDRT, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan; (3) dalam kenyataannya kasus KDRT banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban KDRT.

Definisi-definisi dalam UU KDRT adalah sebagai berikut:
KDRT : setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Penghapusan KDRT : jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban KDRT.
Perlindungan : segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.

Lingkup rumah tangga dalam UU ini meliputi: (a) suami, isteri, dan anak; (b) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau (c) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Tujuan dari Penghapusan KDRT adalah:
a. mencegah segala bentuk KDRT;
b. melindungi korban KDRT;
c. menindak pelaku KDRT; dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Bagi umat Islam, panutan kita adalah Rasulullah Muhammad saw. Terkait dengan KDRT ini, Rasulullah tidak pernah menyakiti orang-orang sekitarnya, apalagi
kepada keluarganya. Beliau selalu memperlakukan orang sekitarnya dengan penuh kasih sayang, jangankan memukul, mencaci atau memanggil dengan nama panggilan buruk pun tidak pernah dilakukan oleh beliau. Jika ada masalah selalu dibicarakan untuk mencari solusi. Jika umat Islam saat ini mampu mencontoh beliau, saya pikir UU KDRT pun tidak akan diperlukan lagi; tetapi jika masih banyak KDRT di sekitar kita dan umat Islam belum kaffah (seutuhnya) taat kepada Allah SWT dan Muhammad saw, UU KDRT masih diperlukan. Semuanya itu kembali kepada diri kita sendiri.

Hal ini membuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin
, mengatur hubungan antar manusia agar hidup harmonis. Cukup takut kepada Allah SWT saja, tidak perlu kita takut kepada pelaku KDRT. Takut kepada pelaku KDRT berarti kita sudah syirik, menduakan Allah SWT. Na’udzubillah min dzalik.
Wal Allahu ‘alam.

RATU BALQIS DALAM AL QUR'AN


Balqis (Bilqis) adalah nama seorang ratu, kepala negara dan pemerintahan dari Negara Saba di masa hidup Nabi Sulaiman alaihis salam (AS). Kisah Ratu Balqis dan Nabi Sulaiman AS tertulis secara jelas dalam Al Qur’an Surat An Naml (ayat 20-44).

Bagaimanakah karakter Ratu Balqis sebagai seorang pemimpin negara dan pemerintahan?
1. Balqis adalah pemimpin yang demokratis, bukan yang otoriter dan bukan yang lemah. Karakternya terkisah dalam ayat 32, yaitu: Dia (Balqis) berkata,”Wahai para pembesar! Berilah aku pertimbangan dalam perkaraku ini (Balqis menerima dan membaca surat dari Nabi Sulaiman AS tentang ajakan untuk berserahdiri kepada Allah SWT). Aku tidak pernah memutuskan suatu perkara sebelum kamu hadir dalam majelisku”.  Kemudian dilanjutkan pada ayat 33, yaitu: Mereka menjawab,”Kita memiliki kekuatan dan keberanian yang luar biasa (untuk berperang), tetapi keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan engkau perintahkan”.
2. Balqis adalah pemimpin yang bijaksana, mampu mengukur kekuatan diri, dan tidak mau mengorbankan rakyatnya.  Karakter ini terkisah dalam ayat 33 (di atas) dan ayat 34-35 sebagai berikut:  Dia (Balqis) berkata,”Sesungguhnya raja-raja apabila menaklukkan suatu negeri, mereka tentu membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; ... Dan sungguh, aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku) akan menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan itu.”
3. Balqis adalah seseorang yang cerdas, mau dan mampu beriman setelah melihat bukti kebesaran Allah SWT sebagai pencipta alam semesta.  Setelah dia melihat singgasana yang mirip miliknya (sesungguhnya memang miliknya yang kemudian dimodifikasi atas perintah Nabi Sulaiman as.) dan setelah melihat istana Nabi Sulaiman AS yang berlantai kaca laksana kolam air, dia beriman. Karakter ini terkisah dalam ayat 44 yaitu: ... Dia (Balqis) berkata,” Ya Tuhanku, sungguh, aku telah berbuat zalim terhadap diriku. Aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan seluruh alam.”

Apa yang dapat kita tarik dari kisah ini ditinjau dari segi gender?  Bicara tentang kepala negara dan pemerintahan berarti bicara tentang akses, kontrol dan partisipasi politik. Kisah Ratu Balqis dalam Al Qur’an menunjukkan bahwa Allah SWT tidak menghukumi pemimpin negara perempuan itu salah, nyatanya kisah Ratu Balqis ditulis dalam Surat An Naml sebanyak 24 ayat dengan segala perilakunya. Balqis adalah seorang pemimpin yang bijaksana, tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, mau mendengar pendapat orang lain, dan cerdas, sehingga dia akhirnya beriman kepada Allah SWT bersama rakyatnya (kepercayaan yang dianut rakyat Negara Saba sebelumnya adalah penyembah matahari).   

Yang terpenting dalam sifat seorang pemimpin adalah dia memberikan manfaat kepada rakyatnya atau memberikan mudharat (kesengsaraan) dunia akhirat. Salah satu hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari sahabat Abu Hurairah berisi bahwa pemimpin (imam) diangkat tidak lain kecuali untuk diteladani. Jika sang pemimpin adalah orang yang beriman, bertakwa, bijaksana serta memiliki sifat-sifat yang digariskan oleh agama, warganya pun akan mencontoh perilaku yang positif tersebut, negara tersebut mendapat rahmat dari Allah SWT sesuai janji Allah SWT dalam Surat Al A’raf ayat 96:”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi”. Sebaliknya, pemimpin yang dzalim, kesengsaraan yang diderita oleh warganya serta laknat dari Allah SWT, karena yang memilih pemimpin adalah rakyat (warga), akibat salah memilih kesengsaraan yang didapat.

Seorang pemimpin itu harus memenuhi kriteria sifat-sifat sebagai berikut:
 - siddiq (jujur). Siddiq ini tidak hanya sekedar jujur (tidak berbohong dan korupsi) saja, tetapi juga adil dan tidak berstandar ganda.
- amanah (terpercaya). Terpercaya dalam hal ini menyangkut komitmennya dalam melaksanakan kewajibannya selaku pemangku jabatan.
- fathonah artinya mempunyai kemampuan (kompetensi) juga cerdas (smart), menguasai bidangnya.
- tabligh (menyampaikan). Pemimpin mampu menjadi panutan yang baik, melakukan pembinaan kepada rakyatnya, juga menyampaikan kebenaran (mana yang haq dan yang bathil). 

Kisah Balqis dan Nabi Sulaiman AS merupakan bagian dari sejarah kehidupan manusia. Dari sejarah ini kita dapat banyak belajar tentang perilaku yang dikehendaki oleh Allah SWT, apalagi sumber sejarah ini adalah Al Qur’an yang tetap terjaga kemurnian isinya. Pemimpin yang bijaksana nan pandai tidak dapat diukur dari jenis kelamin atau gendernya, lelaki dan perempuan dapat menjadi pemimpin suatu negara atau institusi (kecuali dalam hal rumahtangga, terkait status suami-istri ada hukum tersendiri), asal dia memenuhi syarat-syarat untuk menjadi seorang pemimpin.
Wal Allahu ’alam.