KDRT adalah singkatan dari istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan UU Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Saat ini kasus KDRT banyak dimuat di berbagai media massa, akibat
perkembangan teknologi yang canggih dan perubahan pola pikir. KDRT sudah ada sejak dahulu
kala, sejak ada lembaga pernikahan, karena tidak mungkin ada istilah kekerasan
dalam rumah tangga jika tidak ada pernikahan itu sendiri. Dulu KDRT tidak
pernah diungkapkan ke ranah publik, karena dianggap membuka aib keluarga,
akibatnya banyak kejadian KDRT yang mengakibatkan luka serius bahkan kematian
bagi sang korban, sedangkan sang pelaku tidak memperoleh sanksi hukum alias
bebas. Dengan demikian, tidak ada keadilan bagi sang korban.
Contoh KDRT di negara India. Perempuan India membawa
mas kawin untuk sang suami. Akibat kemiskinan, mas kawin tersebut di-utang.
Akibat utang mas kawin tidak dibayarkan, sang istri pun kemudian mengalami
penyiksaan dari suami, KDRT tersebut dapat menyebabkan kematian seorang istri
di India.
Bagaimana dengan KDRT di Indonesia? Oleh karena penduduk
Indonesia mayoritas Islam (lelaki yang menyerahkan mas kawin), penyebab KDRT
seperti contoh di India tersebut dapat dikatakan hampir tidak ada. Namun
penyebab-penyebab lain tetap ada, antara lain akibat kemiskinan terjadi KDRT, karena
mabuk minuman keras (meskipun penduduk Indonesia mayoritas Islam, tetapi
minuman keras subur dijual-belikan serta dikonsumsi). Selain itu, pertengkaran
suami-istri pun dapat berakhir dengan KDRT.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa latar belakang pelaku dan korban KDRT bermacam-macam,
baik dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi dan sosial-budaya. Penyebab
kasus KDRT pun ini bermacam-macam, masalah sosio-ekonomi atau sosio-budaya atau
kejiwaan.
Pelaku KDRT ada yang lelaki ada pula yang perempuan, dan korbannya pun demikian,
lelaki atau perempuan. Namun berdasarkan anggapan masyarakat bahwa perempuan
adalah makhluk yang lemah dan lelaki adalah makhluk yang kuat, maka kasus KDRT yang
banyak timbul dan diekspos akhir-akhir ini adalah KDRT dengan korban perempuan
dan pelaku lelaki. Pada umumnya korban KDRT takut mengungkapkan tindakan dzalim
yang diterimanya tersebut karena dapat menerima ancaman atau tindakan yang
lebih kejam lagi.
Bahaya dari adanya KDRT adalah perilaku sang pelaku (ayah
atau ibu) dapat ditiru oleh sang anak. Sang anak kelak di kemudian hari,
setelah menikah, dapat melakukan hal yang sama dalam hal KDRT, kecuali anak
yang cerdas dan memiliki kepribadian kuat saja yang mampu TIDAK meniru perilaku
KDRT ini. Imitasi perilaku ini dapat terjadi karena tindakan KDRT tersebut
dianggap umum akibat penutupan aib keluarga tersebut.
Saya pernah membaca beberapa tulisan yang memuat respon negatif tentang UU Penghapusan KDRT ini. Hal ini akibat kurangnya sosialisasi dari
Pemerintah. Selain itu, adanya anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam
lingkup rumah tangga seharusnya dirahasiakan karena merupakan suatu aib keluarga, atasnama perintah agama (dalam arti sempit). Padahal dalam kenyataannya,
peristiwa KDRT di suatu rumah dapat terdengar oleh tetangga mereka. Sesungguhnya hal ini tidak adil bagi si korban,
karena atas nama rahasia aib keluarga, si korban harus mengalami penderitaan
dan ketidakadilan. Allah SWT Maha Adil, umatnya pun harus mengikutinya,
bagaimana cara menegakkan keadilan itu. Jika dalam lingkup keluarga dan rumah tangga saja, keadilan tidak dapat
ditegakkan, bagaimana penegakan keadilan di masyarakat luas yang tidak ada
hubungan darah atau kerabat dengan seseorang?
Penyebab pertengkaran (mungkin aib) boleh
dirahasiakan, tetapi KDRT HARUS DICEGAH. Apa pun alasannya,
KDRT harus dicegah, karena KDRT adalah perbuatan dzalim. Orang yang beriman dan
bertakwa akan mencontoh perilaku Rasulullah Muhammad saw dalam mengatasi
masalah dalam keluarga.
Dengan demikian, apa UU KDRT itu diperlukan? Peraturan perundang-undangan diterbitkan karena situasi dan kondisi saat itu memang membutuhkan. Dalam kenyataannya masyarakat muslim Indonesia, yang mayoritas, belum mencontoh perilaku Rasulullah saw, maka masih membutuhkan bantuan (intervensi) UU buatan manusia dan Pemerintah.
Pertimbangan diterbitkan UU ini menurut Pemerintah RI adalah bahwa (1) segala bentuk kekerasan, terutama KDRT, merupakan
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta
bentuk diskriminasi yang harus dihapus; (2) korban KDRT, yang kebanyakan adalah
perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau
perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan; (3) dalam
kenyataannya kasus KDRT banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia
belum menjamin perlindungan terhadap korban KDRT.
Definisi-definisi dalam UU KDRT adalah sebagai berikut:
KDRT : setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Penghapusan KDRT : jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban KDRT.
Perlindungan : segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Lingkup rumah tangga dalam UU ini meliputi: (a) suami, isteri, dan anak; (b) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau (c) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Tujuan dari Penghapusan KDRT adalah:
a. mencegah segala bentuk KDRT;
b. melindungi korban KDRT;
c. menindak pelaku KDRT; dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Bagi umat Islam, panutan kita adalah Rasulullah Muhammad saw. Terkait dengan KDRT ini, Rasulullah tidak pernah menyakiti orang-orang sekitarnya, apalagi kepada keluarganya. Beliau selalu memperlakukan orang sekitarnya dengan penuh kasih sayang, jangankan memukul, mencaci atau memanggil dengan nama panggilan buruk pun tidak pernah dilakukan oleh beliau. Jika ada masalah selalu dibicarakan untuk mencari solusi. Jika umat Islam saat ini mampu mencontoh beliau, saya pikir UU KDRT pun tidak akan diperlukan lagi; tetapi jika masih banyak KDRT di sekitar kita dan umat Islam belum kaffah (seutuhnya) taat kepada Allah SWT dan Muhammad saw, UU KDRT masih diperlukan. Semuanya itu kembali kepada diri kita sendiri.
Definisi-definisi dalam UU KDRT adalah sebagai berikut:
KDRT : setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Penghapusan KDRT : jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban KDRT.
Perlindungan : segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
Lingkup rumah tangga dalam UU ini meliputi: (a) suami, isteri, dan anak; (b) orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau (c) orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Tujuan dari Penghapusan KDRT adalah:
a. mencegah segala bentuk KDRT;
b. melindungi korban KDRT;
c. menindak pelaku KDRT; dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Bagi umat Islam, panutan kita adalah Rasulullah Muhammad saw. Terkait dengan KDRT ini, Rasulullah tidak pernah menyakiti orang-orang sekitarnya, apalagi kepada keluarganya. Beliau selalu memperlakukan orang sekitarnya dengan penuh kasih sayang, jangankan memukul, mencaci atau memanggil dengan nama panggilan buruk pun tidak pernah dilakukan oleh beliau. Jika ada masalah selalu dibicarakan untuk mencari solusi. Jika umat Islam saat ini mampu mencontoh beliau, saya pikir UU KDRT pun tidak akan diperlukan lagi; tetapi jika masih banyak KDRT di sekitar kita dan umat Islam belum kaffah (seutuhnya) taat kepada Allah SWT dan Muhammad saw, UU KDRT masih diperlukan. Semuanya itu kembali kepada diri kita sendiri.
Hal ini membuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, mengatur hubungan antar manusia agar hidup harmonis. Cukup takut kepada Allah SWT saja, tidak perlu kita takut kepada pelaku KDRT. Takut kepada pelaku KDRT berarti kita sudah syirik, menduakan Allah SWT. Na’udzubillah min dzalik.
Wal Allahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar